Sudah tidak
jarang melihat anak sekolahan –baik SMP ataupun SMA– yang pergi ke sekolah
dengan mengendarai motornya sendiri. Tidak hanya laki-laki, perempuan juga ada
yang melakukannya. Salah satunya adalah aku. Aleya –panggilanku– juga pergi ke
sekolah dengan mengendarai motor sendiri. Sudah 2 tahun aku melakukannya sejak
masuk SMA. Namun, aku baru mulai menggunakan motor manual belakangan ini.
Aku memang
baru sekali ini ke sekolah dengan menggunakan motor manual. Walau sedikit ragu,
aku harus tetap melakukannya. Hal ini karena alasan yang cukup rasional. Sejak
aku masuk SMA, ayahku membelikanku motor matic. Diharapkan dengan motor ini aku
akan lebih mudah mengendarainya. Melihat postur tubuhku yang kecil, tentu motor
matic adalah pilihan yang tepat. Namun, sejak itu juga motor manualku tidak
pernah digunakan. Akhirnya –setelah 2 tahun– aku harus kembali menghidupkan
mesin motor itu dan membawanya melakukan perjalanan yang jauh.
Aku pun
mulai mengendarainya pegi ke sekolah. Hari ini adalah hari ke-3 sejak pertama
kali aku membawanya ke sekolah. Dan tiba-tiba saja aku dikejutkan dengan mesin
motor yang mati. Ketika sedang macet, tiba-tiba saja mesin motorku mati. Aku
yang merasa sedikit panik, mulai menghidupkan kembali mesin itu. Tiga kali
kucoba dan akhirnya berhasil.
Aku terus
berjalan menyusuri lalu lintas yang padat. Dan parahnya, hal yang serupa
kembali terjadi. Mesin motorku mati kembali ketika macet. Untunglah aku tidak
diklakson seperti keadaan sebelumnya. Sehingga aku tidak begitu panik ketika
berusaha menghidupkan mesin motorku.
Kali ini
aku berusaha lebih keras untuk menghidupkan mesin motorku. Aku mencoba
menghidupkannya lebih dari lima kali hingga aku tak tahu berapa jumlahnya.
Dan aku
cukup terkejut ketika melihat seseorang yang tak asing baru saja melewatiku. Ia
berhenti tepat di depanku. Setelah kusadari, ternyata dia adalah kakak kelasku.
Aku memang merasa sedikit malu ketika itu. Namun aku tetap tidak peduli dan
tetap mencoba menghidupkan mesin motorku. Akhirnya setelah mesinku berhasil
dinyalakan, aku menarik pedal dengan kencang hingga terdengar bunyi yang kasar.
Aku tahu, orang-orang merasa jengkel dengan perbuatanku. Namun aku harus
melakukannya agar mesin motorku tidak mati kembali.
Akhirnya
ketika lalu lintas mulai bergerak, aku menambah gigi dan menarik pedal gas.
Lalu aku berkendara menuju sekolah. Untung saja aku tidak terlambat. Aku merasa
sangat bersyukur karena bisa sampai ke sekolah dengan selamat.
Keesokan
harinya, ketika pulang sekolah, aku berkendara melewati jalan yang biasa. Dan
tiba-tiba, terjadi insiden yang membingungkan. Setelah menyebrangi rel, motor
sebelah kiriku bergeser semakin ke kanan. Dan tak lama, kulihat dia hampir
berada tepat di depanku. Langsung saja aku mengerem agar tidak terlambat.
Namun
ternyata usahaku sia-sia. Ternyata aku sudah terlanjur menginjak kaki kanan pengemudi
tadi. Terlihat ekspresinya yang merasa sakit. Tetapi anehnya, setelah dia
berpapasan denganku, dia berkata, “Maaf ya, mbak. Saya gak sengaja.”
Aku sangat
kaget mendengar perkataannya. Kenapa jadi dia yang minta maaf? Padahal kan
aku yang nginjek. Apa dia kira bukan aku yang nginjek? Tapi jelas-jelas dia
ngeliat kalo aku yang nginjek. Ah… ya sudahlah! Udah terlanjur. Batinku.
Akhirnya,
aku meneruskan perjalanan. Dan sampai di rumah dengan fikiran yang masih kacau.
No comments:
Post a Comment