Malam ini adalah giliranku untuk ngejartel. Jartel adalah sebutan teman sekelasku untuk berita mengenai tugas yang harus bibawa maupun dikerjakan. Jartel juga salah satu kebiasaan yang tidak dapat ditunda. Sebab, jika aku atau Riana sedikit saja terlambat ngejartel, maka banyak anak-anak yang menanyakannya.
Awalnya ngejartel bukanlah sebuah kebiasaan. Namun, banyak anak-anak yang meminta dan memohon untuk dijartel. Maka aku dan Riana menerima permintaan itu. Akhirnya kami membeli nomor baru dari salah satu operator yang memberikan banyak bonus.
Dan kali ini, Riana memintaku untuk menggantikannya. Aku pun menerimanya dengan senang, berhubung ia harus pergi ke luar kota untuk mewakili sekolah. Aku pun mulai mengetik tugas-tugas yang diberikan untuk besok. Namun, aku melewatkan 1 tugas untuk dikirimkan. Akhirnya aku mengirim ulang tugas-tugas tersebut.
Namun keesokan harinya, aku mengalami sebuah masalah besar. Ternyata, salah seorang temanku ada yang tidak mendapatkan SMS kedua. Aku menjadi sangat bingung dan khawatir. Sebab, seingatku, aku sudah mengirimkan pesan kedua pada seluruh teman-temanku. Ketika itu, jantungku berdegup cepat. Baru kali ini aku melakukan hal yang fatal. Padahal, kemarin, Fanny sudah meminta padaku agar dikirimkan jartelan. Namun apalah daya, ternyata pesan itu belum tersampaikan. Ya Allah! Apa yang harus lakukan kali ini?
"Ros, kamu kenapa?" tanya Aifa.
"Fa, aku kan kemaren ngejartel, masa jartelanku gak nyampe ke Fanny. Pusing banget nih!" seruku sambil memegang kepala.
"Lho! Kok bisa sih!" seru Aifa heran.
"Aku juga bingung! Duh, aku harus gimana nih?" gumamku bingung.
"Udahlah, Ros! Kamu gak salah kok! Fanny yang seharusnya inget akan kewajibannya," kata Julie yang tiba-tiba datang.
"Tapi tetep aja! Masalahnya sekarang kan jadi ruyem!" kataku.
Akhirnya aku keluar kelas dan berusaha untuk menemui guru Bahasa Inggris. Namun aku sempat khawatir karena ia tidak ada. Dan ketika itu, untuk kedua kalinya, aku menangis. Aku menangis tanpa menyadari posisiku. Dan ketika bertemu dengan Ma'am Ifa, aku menceritakan semua kejadian yang kualami sambil tersedu-sedu. Untunglah Ma'am Ifa mau memakluminya.
Setibanya di kelas, aku pun meminta maaf pada Fanny. Aku merasa lega karena ia mau memaafkanku. Akhirnya, masalah pun selesai karena bukunya telah diantarkan ke sekolah.
Hari-hari pun berlalu. Selang beberapa bulan, aku melaksanakan sebuah remed masal. Ini merupakan kebiasaan yang telah dilakukan secara turun-temurun oleh guru Kimia. Ketika itu, aku sedikit merasa takut tidak dapat mengerjakan soal dengan baik.
"Duh! Ulangan Kimia lagi!" seruku.
"Ah, Ros! Kamu mah walaupun gak belajar, tetep aja bagus nilainya," kata Aifa memuji.
"Apakah? Ada-ada aja sih, Fa!" kataku mengelak.
"Ih, beneran! Kamu mah udah pinter, gak usah belajar juga pinter," kata Aifa semakin memuji.
"Ya, deh! Makasih atas pujiannya. Tapi swear! Kimia kali ini agak susah," kataku.
"Agak susah! Kalo bagi aku mah susah banget," kata Aifa semakin merendah.
"Udahlah, Fa! Gak usah merendah melulu," kataku.
"Aku gak merendah kok! Emang itu kenyataannya," kata Aifa.
"Udah ah! Tuh, gurunya udah dateng," kataku.
Akhirnya, hari itu aku mengerjakan soal yang diberikan. Awalnya aku merasa tenang, karena soal PG dapat dijawab dengan mudah. Namun ketika memasuki soal Essay, aku menjadi merasa was-was. Dari 4 soal essay yang diberikan, aku hanya mampu mengerjakannya sebanyak 2 nomor. Akhirnya aku hanya bisa pasrah karena waktu mengerjakan soal sudah habis.
"Ya Allah! Soalnya susah banget!" ujarku ketika guru Kimia sudah keluar.
"Heeh! Susah banget! Mana yang Essay cuma dapet 2 nomer," kata Sissy.
"Emang tuh! Mol nyebelin," ujarku.
Namun tiba-tiba saja aku melihat ke papan tulis. Ternyata aku telah mengerjakan soal yang salah. Seharusnya aku mengerjakan soal halaman 102. Namun aku malah mengerjakan soal halaman 115. Ya Allah! Ini adalah cobaan yang sangat berat.
Seketika itu juga, hatiku menjadi sakit. Aku merasa, air mataku sudah berada di ujung mata dan tak bisa dibendung. Akhirnya aku keluar dan memuaskan hatiku untuk menangis sepuas-puasnya. Tiba-tiba Disney menghampiriku.
"Ros, kamu kenapa? Kok nangis?" tanya Disney bingung.
"Ah, gak apa! Mending kamu ninggalin aku sendiri," kataku mengelak.
Akhirnya Disney meninggalkanku. Namun semakin lama, semakin banyak anak-anak yang menghampiriku dan bertanya. Aku tetap saja mengelak dan menolak berbicara. Hingga akhirnya aku mengajak Sissy dan berbicara padanya mengenai apa yang aku alami.
"Sy, aku udah gak tahan," kataku sambil menangis.
"Gak tahan soal apa? Lho! Kok kamu nangis sih?" tanya Sissy heran.
"Sy, aku salah ngerjain soal," kataku.
"Soal? Soal apa?" tanya Sissy heran.
"Soal Kimia. Kan harusnya ngerjain soal halaman 102, aku malah negrjain soal halaman 115. Aku bingung harus ngapain lagi," kataku semakin manangis.
"Udahlah ,Ros! Gak apa kok! Aku juga pernah salah ngerjain soal kok! Tanang aja!" kata Sissy.
"Tapi ,Sy! Ini tuh remed. Masa nilai remed gak tuntas!" kataku kasar.
"Ya elah Ros! Nyantai aja kali! Gue aja cuma ngerjain 2 nomer," kata Ochi yang tiba-tiba datang.
"Tapi paling nggak, ada yang ngebantu. Nah, ini! Aku tuh parah banget!" kataku mengelak.
"Udah-udah! Apa kamu mau aku temenin ke gurunya? Nanti minta ke dia buat remed ulang," kata Sissy mengusulkan.
"Ya udah deh! Semoga aja gurunya mau," gumamku.
Akhirnya, sepulang sekolah, aku berusaha menemui guru kimiaku. Aku mencarinya ke perpustakaan, tapi dia tidak ada. Lalu aku mencarinya ke ruang guru, tapi dia juga tak ada. Akhirnya aku hanya bisa pasrah dan berdoa, semoga rata-rata nilai kimiaku diatas 85.
No comments:
Post a Comment