Banyak orang yang mengatakan bahwa masa SMA sangatlah menyenangkan. Namun aku tidak sependapat dengan hal itu. Aku, Rosalind Kuncoro, telah mendapatkan kenangan pahit di minggu pertama masuk SMA.
Suatu ketika, akan diadakan seleksi anggota OSIS. Awalnya aku tidaklah berminat. Namun seorang temanku mengajakku untuk mencoba mengikuti seleksi tersebut. Aku sempat bingung dan tidak menanggapi hal itu. Namun temanku tetap saja manghasutku. Akhirnya aku mau mengikuti seleksi tersebut.
"Ros, kamu jadi ikut seleksi OSIS?" tanya Kanya.
"Ini juga karena kamu bujuk," jawabku.
"Ih, gak apa tau! Siapa tahu, pengalamanmu nambah," kata Kanya. "Lagian, aku yakin kalo kamu bakal keterima,"
"Ah, masa? Harusnya aku yang ngomong begitu ke kamu," kataku tidak yakin.
"Yee... beneran deh! Orang kayak kamu tuh pantes jadi anggota OSIS, bahkan ketua OSIS sekalipun," kata Kanya memuji.
"Ah, udah ah! Kamu mah, bisa aja!" kataku sedikit tersipu. "Aku duluan ya! dah mau bel nih!"
Akhirnya aku kembali ke kelasku. Walaupun kami berada di kelas yang berbeda, kami tetap berkomunikasi. Awalnya aku mengenal Kanya ketika duduk di kelas 8. AKu merasa bahwa Kanya sulit dikalahkan. Sampai sekarang pun, aku tidak sanggup mendapatkan ranking di atasnya. Aku pun sangat kagum padanya. Sebab, ia berhasil mendapatkan ranking yang tinggi tanpa menyontek.
Setibanya di kelas, aku memulai pelajaran baru bersama Sissy. Sissy adalah teman pertama yang aku ajak duduk bersama. Kami belum saling mengenal karena Sissy berasal dari luar kota. Dia adalah anak yang pendiam. entah mengapa aku tertarik padanya dan mengajaknya untuk duduk bersama.
"Sy, hari ini bawa buku apa aja?" tanyaku.
"Aku cuma bawa buku coret-coretan ama catetan," kata Sissy.
"Cuma bawa 2?" tanyaku terkejut.
"Catetannya bawa 4," kata Sissy.
"Oh, kirain! Oya, bawa bekel gak?" tanyaku.
"Bawa. Soalnya ibuku masih ada di sini," kata Sissy.
"Oh, iya! Kok kamu mau sih, disuruh sekolah di sini?" tanyaku penasaran. "Mana ngekosnya sendirian!"
"Aku sih cuma ngikutin saran Kakak," kata Sissy. "Aku bahkan gak tau, mau masuk sekolah yang mana,"
"Ooh! Kalo aku sebenernya gak kepingin masuk sini. Aku tuh maunya masuk SMAN 99. Tapi ternyata aku keterima di sini," kataku menanggapi.
"Awalnya aku juga daftar ke 99. Sempet keterima tuh! Tapi gara-gara masalah dari pusat, akhirnya masuk sini deh!" kata Sissy.
"Uh, bener! Kan bisa aja, gara-gara masalah itu, banyak anak yang berubah fikiran. Jadi makin banyak deh yang daftar ke 99," kataku menanggapi.
"Lagi pada ngomongin apa sih?" tanya Riana.
"Soal masuk sini," ujarku singkat.
"Wah! Ikutan dong!" kata Riana. "Sy, kenapa kamu masuk sini?" tanya Riana.
"Karena aku diterima di sini," kata Sissy.
"Emang kamu daftar di sekolah mana aja?" tanya Riana lagi.
"Di 99, 33, ama di sini," kata Sissy.
"Kok cuma 3?" seruku heran.
"Habis, kakakku nyuruhnya begitu. Ya... aku ikutin aja!" tambah Sissy.
"Trus yang paling kamu pengenin, yang mana?" tanya Riana.
"Aku sebenernya juga bingung. Tapi aku tuh paling mau masuk ke 99," kata Sissy. "Soalnya, dulu, kakakku pingin masuk sana, cuma gak diterima dan akhirnya masuk sini," "malahan aku ikutan seleksi khusus masuk 99," tambahnya.
"Aku juga! Aku tuh dari dulu pengen banget masuk 99. Aku juga ikutan seleksi khusus. Tapi tetep aja ak keterima," ungkapku.
"Tapi kalian harus bersyukur. Kalo misalnya kalian masuk 99, kalian gak akan saling kenal kayak gini," ujar Riana.
"Ya... kalo Riana sih emang minat masuk sini, jadi gampang mensyukuri," kataku.
"Tapi emang sih! Kalo kita gak ketemu di sini, kita gak bakal bisa ngobrol kayak gini," tambah Sissy.
Lalu tiba-tiba saja bel masuk berbunyi. Akhirnya kami menghentikan percakapan tersebut. Kami pun memulai pelajaran pertama dengan senang.
Hari itu berlalu dengan mudah. Kami masih belum mengalami masalah yang serius. Akhirnya, tibalah hari dimana aku harus mengikuti seleksi OSIS.
Pada seleksi OSIS, terdapat 2 tahap. Tahap pertama adalah tahap mental, dan tahap kedua adalah tahap kinerja. Kali ini, aku akan melaksanakan tahap pertama dengan cara memaparkan persentai di depan 4 orang juri. Dan kebetulan sekali, aku sekelompok dengan Kanya.
Awalnya, aku dan 4 orang anggota timku merasa baik-baik saja. Namun ketika masuk ke ruang pemaparan, tiba-tiba saja aku merasa takut. Jantungku berdebar dengan kencang. Rasa gugupku semakin mengusikku. Kami pun mulai ditanyai macam-macam mengenai topik yang kami bawa. Dan satu hal yang aku khawatirkan, akhirnya terjadi. Aku tidak begitu memahami mengenai topik yang kami bawakan. Tentunya hal ini merupakan moment empuk dimana para juri dapat berkomentar. Akhirnya, dengan pengetahuan yang serba terbatas, aku berusaha menjelaskan isi dari paparan kami.
Namun tiba-tiba saja, ada seorang juri yang tidak puas dengan paparan temanku. Temanku yang menjadi semakin takut pun mulai mengeluarkan air mata. Aku merasa sedikit terkejut, namun tidak dapat berbuat apa-apa. Dan tak lama kemudian, ada lagi temanku yang menangis. Kali ini aku sungguh-sungguh terkejut. Bagaimana bisa, 2 orang pria yang bertubuh besar, menangis di hadapan 3 orang wanita yang tidak lain adalah partner mereka. Dan hal yang semakin mengkhawatirkanku, ketika itu Kanya kehilangan suaranya. Suaranya sampai habis karena disuruh bernyanyi. Tentunya hal ini tidak dapat dimaafkan. Aku tidak terima dengan seleksi OSIS ini. Ketika itu, aku memutuskan untuk berhenti mengikuti seleksi.
Sesudah seleksi, aku merasa hatiku sangat sakit. Aku sudah tidak mampu manahan perihnya hatiku. Akhirnya, setibanya di rumah, aku menghibur diriku dengan menangis. Aku menangis dan mengeluarkan air mata sebanyak mungkin. Ini adalah kejadian yang sangat memalukan. Dan ini adalah kejadian yang sudah lama tidak aku alami.
Ketika hari Senin, teman-teman sekelasku membicarakan seleksi OSIS yang kemarin diadakan.
"Hai Ros! Pengumuman OSIS hari ini loh!" seru Roy.
"Ah, gw udah gak minat," kataku ketus.
" Lho! Kenapa?" tanya Roy terkejut.
"Ya... gitu deh!" kataku.
Tiba-tiba Sissy datang.
"Ini dia Sang Puteri Telat!" seruku menyindir. "Mentang-mentang rumah deket ya!"
"Hehe! itulah keuntungannya ngekos!" kata Sissy. "Oya, kalian lagi ngomongin apa?"
"Seleksi OSIS yang kemaren," kataku.
"Lho! Emang kamu ikut seleksi?" tanya Sissy. "Kok gak cerita ke aku sih!"
"Habis, apa yang mau diceritain? Gak ada yang menarik," kataku ketus.
"Ah, bilangnya gak ada yang menarik. Tau-taunya keterima deh!" kata Sissy menggoda.
"Ya... kalo gue sih udah jelas keterima!" ujar Roy.
"Sok lu! Ntar pas gak diterima, malah nangis!" kataku.
"Ye... liat aja nanti!" kata Roy sambil meninggalkan tempatku.
"Ada-ada aja sih!" ujar Sissy. "Oh iya! Trus kalo gak ada yang menarik, kenapa ikut seleksi?" tanya Sissy.
"Aku tuh awalnya cuma ikut-ikutan. Eh, malah jadi begini!" kataku murung.
"Begini gimana?" tanya Sissy penasaran.
"Ternyata OSIS itu mengerikan. Mereka gak memikirkan keadaan orang lain. Mereka hanya memikirkan diri sendiri," kataku menjelaskan.
"Maksudnya?" tanya Sissy yang semakin bingung.
"Udah ah! Gak usah dibahas. Aku males ngebahas itu," kataku ketus.
Tiba-tiba, Roy kembali ke kelas.
"Yey! Gue lolos! Peringkat satu lho!" kata Roy dengan sangat gembira.
"Dih! Ni anak bangga banget dah!" kata Sissy menanggapi.
"Au nih! Gitu aja bangga!" ujarku.
"Bodo! Lagian lu mah jauh dari layak. Lu cuma urutan 26 dari 60," kata Roy dengan sangat bangga.
"Waduh! Gue lolos? Gawat!" kataku terkejut.
"Lho! Bukannya bagus kalo lolos?" seru Sissy terkejut.
"Sy, aku tuh gak mau ikut seleksi kedua," kataku.
"Yah! Tapi kamu udah keterima. Mau gak mau kamu harus ikut seleksi kedua dong!" seru Sissy.
"Nah! itu dia!" kataku singkat.
"Tapi kalo gak salah, lu bisa ngundurin diri kalo orang tua lu ngasih surat pengunduran diri," kata Roy.
"Oya? Harus dicoba nih!" seruku.
Akhirnya aku melewati hari itu tanpa senyuman. Aku sudah tidak dapat melihat kebahagiaan. Hingga akhirnya tibalah hari pelaksanaan seleksi kedua. Pada hari itu, aku sungguh-sungguh bingung. Aku benar-benar tidak ingin mengikuti seleksi itu. Namun, untuk berhenti mengikuti seleksi, dibutuhkan surat larangan dari orang tua. Ketika itu, aku benar-benar lupa membawa surat. Akhirnya, di depan teman-temanku, aku memberanikan diri untuk memalsukan surat pengunduran diri. Bahkan aku berani memalsukan tanda tangan orang tuaku. Saat itu, aku benar-benar membandel. Namun, kebandelanku itu akhirnya tidak berguna. Surant yang sudah kubuat, pada akhirnya tidak digunakan. Akhirnya aku tidak mengikuti seleksi kedua dan merasa lega.
Ketika pengumuman kelulusan menjadi anggota OSIS di hari Senin, Roy menjadi sangat murung. Ternyata, ia tidak diterima menjadi anggota OSIS. AKu pun menghampiri Roy yang sedang duduk sendiri di kursinya.
"Kenapa? Gak diterima ya! Kasihan!" seruku menyindir.
"Udah deh! gak usah deketin gue!" kata Roy.
"Lagian sih! Makanya, jadi orang tuh jangan sombong! Begini nih akibatnya!" kataku.
"Udah! Pergi sana! Jangan deketin gue!" kata Roy sambil memperlihatkan kemarahannya.
Aku yang takut kemarahan Roy menjadi bertambah, akhirnya meninggalkan Roy sendiri di tempatnya. Dan ketika itu, aku merasa senang karena Kanya diterima menjadi Hummas OSIS dan aku terbebas dari masalah OSIS.
No comments:
Post a Comment