Sebagai manusia, tentu kita memiliki
pasang-surut akan kehidupan. Ada kalanya kita merasa bahagia, namun ada kalanya
kita merasa sedih atau bahkan kesal. Aku tidak mengerti kenapa hari ini
terjadi. Yang aku rasakan hanyalah rasa kesal tiada tara.
Sejak
pagi tiba di sekolah, aku mengirimkan sebuah pesan singkat kepada temanku. Di
sana berisi sebuah izin dariku untuk tidak menghadiri sebuah rapat. Lalu aku
membaca buku dan mendengarkan musik.
Tak
lama setelah itu, aku mendapat balasan akan kemarahan temanku. Dia tidak suka
jika aku tidak mengikuti rapat. Padahal, sejak seminggu lalu, ayahku sudah
mengatakan bahwa kami akan pergi bersama pada liburan besok. Dan aku justru
diharuskan mengikuti rapat itu di hari di mana aku pergi.
Tiba-tiba
aku merasa dadaku sakit luar biasa. Aku sungguh bingung sekaligus ragu. Aku
tidak tahu apa yang harus kuperbuat. Mana yang harus kupilih? Akankan aku
memilih teman atau tetap memilih keluarga. Ini adalah pilihan yang berat
bagiku. Aku merasa dipojokkan dengan berbagai kemungkinan yang akan manimpaku.
Untuk beberapa saat aku melupakan pemikiran itu dan melanjutkan membaca.
Aku
terus terfokus pada pelajaran. Dan aku kembali merasakan rasa sakit ketika
sedang mengikuti praktik Biologi. Walaupun praktik itu dikerjakan perkelompok,
aku merasa hanya aku yang mengerjakan semuanya. Terutama ketika sedang menjawab
pertanyaan dan kesimpulan. Aku sempat berfikir, mungkin rasa sakit ini hanyalah
perasaanku saja. Namun, semakin lama aku menahannya, aku semakin tidak dapat
mengendalikan diriku.
Tanpa
disadari, aku mengeluarkan kata-kata kasar yang mengejutkan teman sekelompokku.
Aku yang menyadari hal itu, langsung menghentikan kegiataku dan memejamkan
mata. Aku berusaha menahan kemarahan agar tidak keluar dari mulutku. Aku
berusaha tetap tenang dan melupakan semua kejadian di pagi itu.
Tidak
sepantasnya aku melakukan hal yang buruk kepada temanku yang jelas-jelas tidak
ada kaitannya dengan kejadian tadi pagi. Aku terus saja menjaga agar tubuh dan
fikiranku tetap rileks.
Lalu
ketika bel istirahat berbunyi, aku pergi ke kantin bersama temanku. Setelah
membeli beberapa makanan, kami kembali ke kelas. ketika di koridor, aku bertemu
dengan Via. Via yang juga anggota sie acara, bertanya, “Besok bisa ikut rapat
kan?” Aku langsung menjawab, “Tidak ikut,”
Dan
tiba-tiba Via berkata dengan nada kesal, “Ah, kamu mah gak ikut rapat mulu!”
Aku
terkejut bukan main. tanganku terasa lemas dan aku hampir saja menjatuhkan
makanan yang baru kubeli. Apa maksudnya berkata seperti itu? Aku hampir saja
meluapkan kembali kemarahanku.
Aku
sadar, kamarin, aku tidak mengikuti rapat. Namun aku sudah ada janji sebelumnnya. Dan mereka
memberitahuku kalau ada rapat, baru di hari itu. Tentu saja aku memilih
menepati janjiku yang sebelumnya. Tapi itu adalah rapat pertama dan baru kali
itu aku tidak mengikuti rapat selama 4 bulan terakhir.
Lalu
apa maksudnya berkata seperti itu? Apakah aku ini pengkhianat? Apakah aku
bersikap kurang ajar? Lalu kenapa dia berkata seperti itu? Aku benar-benar
merasa kecewa padanya. Aku tidak menyangka kalau aku akan mengalami hal seburuk
ini.
Setibanya
di kelas, temanku yang tadi pratik bersamaku, mendekatiku.
“Kamu
gak papa?” tanya Widia.
“Lah!
Emang aku kenapa?”
“Mungkin
kamu masih marah soal yang tadi,”
“Soal
yang mana deh?”
“Pas
lagi praktek. Emang marah kenapa sih? Gara-gara aku ya?”
“Oh…
gapapa lagi. Bukan gara-gara kamu kok!”
“Trus
gara-gara apa?”
“Yang
jelas gak ada kaitannya sama kamu. Tenang aja!”
Pembicaraan dapat dihentikan dan aku
merasa lega tidak lagi harus berbicara terlalu banyak. Istirahat pun usai dan
kami memulai pelajaran baru. Ketika itu, guru Bahasa Indonesia memerintahkan
kami untuk mempresentasikan karya tulis yang telah dibuat.
Akhirnya kelompok yang dipanggil
olehnya maju dan bepresentasi. Ternyata bukan kelompokku yang disuruh maju.
Maka kami harus membuat rangkuman mengenai hal yang dibahas dalam karya tulis
mereka.
Aku pun duduk bersama anggota
kelompok yang lain. Kami menyiapkan peralatan menulis sambil bercanda.
Begitupula denganku. Aku mendengarkan lelucon mereka dan melupakan kejadian
tadi.
Selang
beberapa menit, Ami memanggilku, “Julia, lo kemaren kemana? Kok gak ikut
rapat?”
“Aku
izin karena udah ada janji,”
“Ah,
paya lo! Harusnya tuh lo ikut rapat. Lo kan anak acara,”
Aku
hanya diam dan berusaha mengalihkan pandangan.
“Julie
gak rapat… Julie curang… Julie curang…” ucapnya. Dan ketika itu aku langsung
memandangnya. Aku benar-benar tidak mengerti dengan apa yang telah kufikirkan.
Namun,
setelah mendengar kata-kata yang diucapakan dengan nada mengejek, aku langsung
saja membalik tubuhku memebelakangi Ami dan Ana. Dengan amarah yang
mengguncang, aku memperhatikan karya tulis yang sedang dipaparkan.
Aku
berusaha menenangkan diri dan terus ber-istighfar. Tak lama kemudian, aku
berhasil menenangkan diri. Dan selang 15 menit, Ana memanggilku.
“Julia
lagi bete ya?” ujarnya.
Tetapi,
aku tidak terlalu memedulikannya dan lebih memilih diam. Dengan segera aku
membuang muka dari hadapannya. Aku kembali fokus terhadap karya tulis yang
ditampilkan dan duduk membelakangi mereka. Aku tidak ingin kemarahanku kembali
keluar dan menyakiti teman-temanku.
Hari pun berlalu dan tak terasa, Kamis sudah
datang. Di sekolah, aku belajar seperti biasa. Dan ketika plajaran mulok usai,
aku dan teman-teman kelompok dramaku membicarakan latihan.
“Jadi
kita mau latihan di mana?” tanyaku.
“Di
rumah siapa ya? Apa di rumah Sherin aja?” ujar Meisya.
“Kalian
mau di rumah gue? Ya udah kalo gitu. Mau hari apa?” tanya Sherin.
“Kalo
hari Jum’at gimana?” tanya Lia.
Mendengarnya
aku hanya terdiam. Aku berfikir lagi tentang apa yang akan kulakukan.
“Yah…
gue gak bisa,” seru Meisya.
“Kenapa
emang?” tanya Lia.
“Gue
mau ada GS. Tapi mungkin gue bisa kalo sorean dikit,” ujarnya.
“Ada
lagi yang gak bisa?” Tanya Lia.
“Insya
Allah bisa,” ucapku.
“Oke
ya! Fix di rumah gue, jam 1,” ucap Sherin.
“Iya…”
jawab beberapa anak.
Kami
pun membereskan buku dan pulang. Ya… aku
merasa senang bisa berjanji ikut latihan. Tapi apakah aku akan menepatinya? Ya,
lihat aja besok.
continued to Latihan
No comments:
Post a Comment